Hari ini bertepatan dengan hari Ayah, saya ingin
mengucapkan rasa terimakasih kepada Ayah saya yang telah menjadi pahlawan saya.
Giyatno begitu nama yang tertulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik
Ayahku. Ayahku adalah pahlawannku beliau terlahir bukan dari orang kaya namun
terus berusaha agar anaknya menjadi pemuda sukses.
Guru adalah profesi yang sangat mulia, tanpa ada
imbalan pangkat atau apapun untuk perjuangannya. Ayahku lahir dari seorang
buruh tani desa yang menggarap tanah milik orang lain. Perjuangannya untuk
mencapai cita-cita menjadi guru perlu perjuangan yang amat keras. Melihat data
hitam diatas putih, Ayahku termasuk siswa yang cerdas dan berprestasi beliau
masuk tiga terbaik nilai ujian akhir nasional saat di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).
(SMP).
Lulus dari SMP beliau menjutkan mengenyam pendidikan
di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sekolah tersebut adalah sekolah yang
diperuntukkan kepada siswa yang ingin menjadi guru. SPG ini memiliki tingkat
yang sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Dalam pembelajarannya siswa dan siswi sekolah tersebut diajarkan
bagaimana menjadi guru yang baik. Untuk mengenyam pendidikan di sekolah
tersebut harus melalui perjuangan yang besar, jarak rumah dengan sekolahpun
sangat jauh yaitu 16 kilimeter. Sedangkan ayahku hanya anak seorang buruh tani,
bersama sepeda tuanya beliau mengenyam pendidikan. Harus melewati derasnya anak
Sungai Bengawan Solo dengan menggunakan perahu kayu, perjalanan menantang maut
karena diatas perahu terdapat manusia dan sepeda yang harus diseimbangkan. Hal
ini harus dilalui oleh ayahku selama tiga tahun lamanya.
“Guru bukan profesi, melainkan panggilan jiwa” ujar
Bapak Giyatno. Sekitar tahun 1980an beliau menjadi seorang guru honorer di
sebuah Sekolah Dasar. Kerasnya kehidupan saat itu terus menempa beliau, dengan
gaji seorang guru honor yang tidak seberapa, sangat tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Sampai akhirnya saat menikah dengan Ibuku, beliau
memutuskan untuk meninggalankan profesi tersebut dikarenakan kebutuh semakin
meningkat dan beragam. Akhirnya Ayah dan Ibuk mengadu nasip di perantauan
sebagai pedagang. Hasil dagang tersbut yang telah membersarkanku, menghidupiku
sampai akhirnya aku bisa berdiri tegap disini. Pahlawanku ini selalu memberi wejangan-wejangan
yang dapat digunakan untuk bekal hidup. Salah satunya yang masih melekat kuat di
ingatan adalah “Raihlah kesuksesan dengan kesederhanaan” itu yang selalu saya
jadikan motto hidup.
Meskipun ayahku bukan seorang guru namun tetangga
disekitaku selalu memanggil ayahku dengan sebutan Pak Guru. Banyak dari
tetanggaku yang mendoakanku untuk menjadi guru, meneruskan cita-cita serta
perjuangan ayah menjadi sang Umar Bakri.
Dwi Fitra Prihatno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar