Kamis, 12 November 2015

Ayahku Hampir Menjadi Guru Tapi Tetap Pahlawanku

    Hari ini bertepatan dengan hari Ayah, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada Ayah saya yang telah menjadi pahlawan saya. Giyatno begitu nama yang tertulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Ayahku. Ayahku adalah pahlawannku beliau terlahir bukan dari orang kaya namun terus berusaha agar anaknya menjadi pemuda sukses.
   Guru adalah profesi yang sangat mulia, tanpa ada imbalan pangkat atau apapun untuk perjuangannya. Ayahku lahir dari seorang buruh tani desa yang menggarap tanah milik orang lain. Perjuangannya untuk mencapai cita-cita menjadi guru perlu perjuangan yang amat keras. Melihat data hitam diatas putih, Ayahku termasuk siswa yang cerdas dan berprestasi beliau masuk tiga terbaik nilai ujian akhir nasional saat di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).

   Lulus dari SMP beliau menjutkan mengenyam pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sekolah tersebut adalah sekolah yang diperuntukkan kepada siswa yang ingin menjadi guru. SPG ini memiliki tingkat yang sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dalam pembelajarannya siswa dan siswi sekolah tersebut diajarkan bagaimana menjadi guru yang baik. Untuk mengenyam pendidikan di sekolah tersebut harus melalui perjuangan yang besar, jarak rumah dengan sekolahpun sangat jauh yaitu 16 kilimeter. Sedangkan ayahku hanya anak seorang buruh tani, bersama sepeda tuanya beliau mengenyam pendidikan. Harus melewati derasnya anak Sungai Bengawan Solo dengan menggunakan perahu kayu, perjalanan menantang maut karena diatas perahu terdapat manusia dan sepeda yang harus diseimbangkan. Hal ini harus dilalui oleh ayahku selama tiga tahun lamanya.

   “Guru bukan profesi, melainkan panggilan jiwa” ujar Bapak Giyatno. Sekitar tahun 1980an beliau menjadi seorang guru honorer di sebuah Sekolah Dasar. Kerasnya kehidupan saat itu terus menempa beliau, dengan gaji seorang guru honor yang tidak seberapa, sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

   Sampai akhirnya saat menikah dengan Ibuku, beliau memutuskan untuk meninggalankan profesi tersebut dikarenakan kebutuh semakin meningkat dan beragam. Akhirnya Ayah dan Ibuk mengadu nasip di perantauan sebagai pedagang. Hasil dagang tersbut yang telah membersarkanku, menghidupiku sampai akhirnya aku bisa berdiri tegap disini. Pahlawanku ini selalu memberi wejangan-wejangan yang dapat digunakan untuk bekal hidup. Salah satunya yang masih melekat kuat di ingatan adalah “Raihlah kesuksesan dengan kesederhanaan” itu yang selalu saya jadikan motto hidup.

   Meskipun ayahku bukan seorang guru namun tetangga disekitaku selalu memanggil ayahku dengan sebutan Pak Guru. Banyak dari tetanggaku yang mendoakanku untuk menjadi guru, meneruskan cita-cita serta perjuangan ayah menjadi sang Umar Bakri.

Dwi Fitra Prihatno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar